Minggu, November 23, 2008

Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud (Bag. II)

Oleh : Ust. Abu Muhammad Dzulqarnain
 
Pertanyaan No. 1 :
Terlihat dalam praktek sholat, ada sebagaian orang yang menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud dan ada yang tidak menggerak-gerakkan. Mana yang paling rojih (kuat) dalam masalah ini dengan uraian dalilnya?.
Jawab :  (sambungan dari Bag. I)
HADITS YANG KEDUA
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
 “Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah r mengerjakannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.
Derajat Hadits
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
1.   Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2.   Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3.   Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4.   Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5.   Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
6.   ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7.   Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
1.   Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
2.   Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan :
Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Hadits-Hadits Yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan
Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :

(ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا

 “Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Derajat Hadits
Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.
Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah. Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan).
Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
  1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
  2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
  3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
  4.   Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
  5.   ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
  6.   ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
  7.   Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
  8.   Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
  9.   Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
  10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
  11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
  12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
  13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
  14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
  15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
  16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
  17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
  18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
  19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
  20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
  21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
  22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.
Kesimpulan :
Penyebutan lafazh yuharrikuha  (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.
Pendapat Para Ulama Dalam Masalah Ini
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat :
Pertama : Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Kedua : Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah.
Ketiga : Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany -rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak.
Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan.
Namun dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah. Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi r hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau. Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz  (Arab) yang artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya adalah bahwa kata “berosyarat” itu mempunyai dua kemungkinan :
Pertama : Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.
Kedua : Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhory?” Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukhory yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.
Walaupun kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua perkara :
Pertama : Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan Ash-Sholatu Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah) maksudnya tata cara sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan.
Kedua : Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary N0.   dan Imam Muslim No.538 :

إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً

 “Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan”
Maka ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an atau hadits Rasulullah r yang shohih.
Kesimpulan :
Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat  (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak digerak-gerakkan. Wallahu A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam :
  • Kitab Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, ‘Aunul Ma’bud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy 2/160.
  •  Madzhab Hanafiyah lihat dalam : Kifayah Ath-Tholib 1/357.
  •  Madzhab Malikiyah : Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192.
  •  Madzhab Syafiiyyah dalam : Hilyah Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu 3/416-417, Al-Iqna 1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muhtaj 1/173.
  • Madzhab Hambaliyah lihat dalam :  Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu 1/386, Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qona 1/356-357.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesannya ya...!