Minggu, November 23, 2008

MAKNA لا إله إلا الله (Bag. I)

Oleh : Ust. Abu ‘Abdirrahman Luqman Jamal, LC


Pertanyaan :
Banyak penafsiran yang muncul di tengah masyarakat tentang makna Laa Ilaaha Illallah. Ada yang mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah dan inilah yang paling sering didapati dan dijumpai, tapi timbul pertanyaan dan kebingungan dalam benak banyak orang, kalau itu adalah makna Laa Ilaaha Illallah maka orang-orang Yahudi dan Nashoro serta orang kafir yang lainnya juga mengatakan seperti itu, dan ada juga yang mengatakan bahwa maknanya tidak ada yang ada kecuali Allah dan berbagai makna dan penafsiran yang lainnya. Mohon penjelasan disertai dengan dalil-dalil?

Jawab :

Tidak ada keraguan bahwa kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah adalah kalimat yang paling agung, rukun pertama dalam Islam, penentu selamat atau meruginya seorang hamba di akhirat, dasar iman serta asas dakwah dari seluruh Nabi dan Rasul, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (yang artinya):

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thagut (segala yang disembah selain Allah)”. (QS. An-Nahl : 16/36).
Dan kalimat inilah yang membedakan antara seorang mukmin dengan orang kafir. Oleh karena itu seorang muslim wajib mengetahui makna yang benar dari kalimat ini agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang bisa mengurangi nilai syahadatnya bahkan bisa membatalkannya.
Makna Laa Ilaaha Illallah
Secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut :
Laa adalah nafiyah lil jins (Menafikan jenis secara nash) yaitu Laa yang meniadakan jenis kata benda yang datang setelahnya, misalnya : Laa rajula fil bait (tidak ada seorang lelaki pun di dalam rumah). Rajula adalah kata benda untuk jenis laki-laki, dalam contoh di atas kata rajula ini terletak setelah laa nafiyah lil jins maka maknanya adalah “tidak ada seorang pun dari jenis laki-laki berada di dalam rumah”.
Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) yakni bermakna ma`luh artinya ma’bud (yang diibadahi) sebagaimana penafsiran Ibnu ‘Abbas terhadap ayat 127 dalam surah Al-A’raf :

وَقَالَ الْمَلأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَ تَذَرُ مُوْسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوْا فِيْ الْأََرْضِ وَيَذَرَكَ وَءَالِهَتَكَ  قَالَ سَنُقَتِلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِيْ نِسَآءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُوْنَ

"Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun) : “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membut kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta ilah-ilahmu?”, Fir’aun menjawab : ”Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka”. (QS. Al-A’raf : 7/127).
Alihataka (ilah-ilahmu) yaitu ibadah kepadamu karena Fir’aun itu disembah dan tidak mau menyembah.
Lihat : Tafsir Ibnu Jarir.
Dan dalam syair dari Ru`bah Ibnul ‘Ujaj

لِلَّهِ دَرُّ الغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ             سَبَّحْنَ وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَأَلُّهِي

“Betapa hebatnya para wanita kaya yang cerdik mereka bertasbih dan membaca istirjamelihat Ta`alluhi (pengilahanku)”.
Sisi pendalilan dari syair ini adalah kata Ta`alluhi (pengilahanku) yakni penyembahanku dan permintaanku kepada Allah dari amalanku.
Lihat : Fathul Majid hal.19.
Illa (kecuali). Pengecualian disini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang dinafikan oleh laa. Artinya bahwa hanya lafadz jalalah “Allah” yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa.
Allah asalnya Al-Ilah dibuang hamzahnya kemudian lam yang pertama diidhgamkan pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam yang ditasydid dan lam yang kedua diucapkan tebal sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam Al-Farra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih.
Allah (lafadz jalalah). Kata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-Salikin 1/18 : “Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan...”.
Lafadz jalalah “Allah” adalah nama yang khusus untuk Allah saja, adapun seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya kembali kepada lafadz jalalah tersebut. Karena itulah tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang dinamakan Allah.
Kemudian Laa ini masuk ke dalam mubtada dan khobar, yaitu masuk pada jumlah ismiah, mubtada menjadi isim laa dan khobar mubtada menjadi khobarnya, sedangkan pada kalimat Laa Ilaaha Illallah yang ada hanya mubtadanya saja yaitu ilah yang asalnya Al-Ilah kemudian dibuang Al-nya karena seringnya dipakai sementara khobarnya ternyata tidak ada, maka berarti khobarnya (dibuang) maka kita perlu mencari khobarnya untuk memahami maknanya dengan benar .
Maka para ulama salaf mentaqdirkan bahwa yang dibuang tersebut adalah haqqun dengan dalil firman Allah I dalam surah Luqman ayat 30 :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ البَاطِلُ وَأَنََّ اللهَ هُوَ العَلِيُّ الكَبِيْرُ

“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak dan apa saja yang mereka sembah selain Allah adalah batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Luqman : 31/30).
Sedangkan lafadz jalalah (الله) hanya badal dari ilah bukan khobar laa
Maka dari penjelasan tadi maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah.
             لا                         إله                                                                  إلا                    ال


Yang di perkecualikan dari  hukum sebelumnya yaitu penafian seluruh ilahi

Huruf pengecualian, me ngecualikan yang sesudahnya dari hukum sebelumnya.

Khobar mubtada’ yang dibuang yang berubah menjadi khobarnya Laa taqdirnya haqqun (yang benar)

Mubtada’ yang berubah menjadi isimnya Laa artinya yang disembah

Huruf  nafi lil jins masuk pada mubtada’ dan khobar artinya Tidak ada

Makna



(Bersambung ke Bag. II)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesannya ya...!