Minggu, November 23, 2008

Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud (Bag. II)

Oleh : Ust. Abu Muhammad Dzulqarnain
 
Pertanyaan No. 1 :
Terlihat dalam praktek sholat, ada sebagaian orang yang menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud dan ada yang tidak menggerak-gerakkan. Mana yang paling rojih (kuat) dalam masalah ini dengan uraian dalilnya?.
Jawab :  (sambungan dari Bag. I)
HADITS YANG KEDUA
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
 “Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah r mengerjakannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.
Derajat Hadits
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
1.   Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2.   Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3.   Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4.   Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5.   Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
6.   ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7.   Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
1.   Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
2.   Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan :
Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Hadits-Hadits Yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan
Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :

(ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا

 “Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Derajat Hadits
Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.
Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah. Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan).
Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
  1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
  2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
  3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
  4.   Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
  5.   ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
  6.   ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
  7.   Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
  8.   Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
  9.   Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
  10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
  11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
  12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
  13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
  14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
  15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
  16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
  17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
  18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
  19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
  20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
  21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
  22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.
Kesimpulan :
Penyebutan lafazh yuharrikuha  (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.
Pendapat Para Ulama Dalam Masalah Ini
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat :
Pertama : Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Kedua : Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah.
Ketiga : Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany -rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak.
Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan.
Namun dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah. Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi r hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau. Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz  (Arab) yang artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya adalah bahwa kata “berosyarat” itu mempunyai dua kemungkinan :
Pertama : Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.
Kedua : Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhory?” Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukhory yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.
Walaupun kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua perkara :
Pertama : Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan Ash-Sholatu Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah) maksudnya tata cara sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan.
Kedua : Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary N0.   dan Imam Muslim No.538 :

إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً

 “Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan”
Maka ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an atau hadits Rasulullah r yang shohih.
Kesimpulan :
Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat  (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak digerak-gerakkan. Wallahu A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam :
  • Kitab Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, ‘Aunul Ma’bud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy 2/160.
  •  Madzhab Hanafiyah lihat dalam : Kifayah Ath-Tholib 1/357.
  •  Madzhab Malikiyah : Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192.
  •  Madzhab Syafiiyyah dalam : Hilyah Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu 3/416-417, Al-Iqna 1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muhtaj 1/173.
  • Madzhab Hambaliyah lihat dalam :  Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu 1/386, Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qona 1/356-357.

Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud (Bag. I)

Oleh : Ust. Abu Muhammad Dzulqarnain
Pertanyaan No. 1 :
Terlihat dalam praktek sholat, ada sebagaian orang yang menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud dan ada yang tidak menggerak-gerakkan. Mana yang paling rojih (kuat) dalam masalah ini dengan uraian dalilnya?.
Jawab :
Fenomena semacam ini yang berkembang luas di tengah masyarakat merupakan satu hal yang perlu dibahas secara ilmiah. Mayoritas masyarakat yang jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka berada dalam perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah agama sering disertai dengan debat mulut dan mengolok-olok yang lainnya sehingga kadang berakhir dengan permusuhan atau perpecahan. Hal ini merupakan perkara yang sangat tragis bila semua itu hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu’ belaka, padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy, kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Qudamah, kitab Al-Ausath karya Ibnul Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan bahwa para ulama juga memiliki perbedaan pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidaklah menimbulkan perpecahan maupun permusuhan diantara mereka. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah adalah mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul Musta’an.
Adapun masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak mengerak-gerakkannya, rincian masalahnya adalah sebagai berikut :
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis :
i.    Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali.
ii.   Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan.
iii.  Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan (menunjuk) dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.
Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk kebanyakannnya adalah dari jenis yang ketiga dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak ada keraguan lagi tentang shohihnya hadits-hadits jenis yang ketiga tersebut, karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory, Imam Muslim dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti ‘Abdullah bin Zubair, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Muhammad As-Sa’idy, Wa`il bin Hujr, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya.
Maka yang perlu dibahas disini hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama (tidak digerakkan sama sekali) dan derajat hadits yang kedua (digerak-gerakkan).
Hadits-Hadits Yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan Sama Sekali
Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.
HADITS PERTAMA

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ  كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا

“Sesungguhnya Nabi r beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini Sebagai Berikut :
¤ Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawakib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.
¤ Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata Akhbarani  (memberitakan kepadaku).
¤ Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).
¤ Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).
¤ ‘Abdullah bin Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.
 Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
¤ Pertama : Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.
¤ Kedua : Syadz karena menyelisihi.
Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah
رِوَايَةُ الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ
“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.
Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.
Maka kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan karena beberapa perkara :
1.   Muhammad bin ‘Ajlan walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.
2.   Riwayat Muhammad bin ‘Ajlan juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
3.   Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :
a.   Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
b.   Abu Khalid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.
c.   Yahya bin Sa’id Al-Qoththon, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.
d.   Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.
Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) akan tetapi Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
4.   Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan), maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut. Tiga orang ini adalah :
a.   ‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Awanah 2/241 dan 246.
b.   Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
c.   Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajlan. Wallahu A’lam.
(Bersambung ke Bag. II)
Sumber: Majalah An-Nashihah

MAKNA لا إله إلا الله (Bag. II)

Oleh : Ust. Abu ‘Abdirrahman Luqman Jamal, LC
 
Pertanyaan :
Banyak penafsiran yang muncul di tengah masyarakat tentang makna Laa Ilaaha Illallah. Ada yang mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah dan inilah yang paling sering didapati dan dijumpai, tapi timbul pertanyaan dan kebingungan dalam benak banyak orang, kalau itu adalah makna Laa Ilaaha Illallah maka orang-orang Yahudi dan Nashoro serta orang kafir yang lainnya juga mengatakan seperti itu, dan ada juga yang mengatakan bahwa maknanya tidak ada yang ada kecuali Allah dan berbagai makna dan penafsiran yang lainnya. Mohon penjelasan disertai dengan dalil-dalil?
Jawab: (Sambungan dari Bagian I)

Makna Laa Ilaaha Illallah menurut para ulama salaf 
Berkata Al-Wazir Abul Muzhoffar dalam Al-Ifshoh : “Isim “Allah” sesudah “illa” menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka tidak ada (seorangpun) selain dari-Nya yang berhak mendapatkannya (penyembahan itu)… hendaknya kamu tahu bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah I. Maka tatkala engkau menafikan penyembahan dan ditetapkan kewajiban penyembahan itu kepada Allah subhanahu maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah”.
Berkata Imam Az-Zamakhsyary : “Al-Ilah termasuk nama-nama jenis seperti Ar-Rajul (seorang lelaki) dan Al Faras (seekor kuda), penggunaan kata Al-Ilah pada segala yang disembah yang hak maupun yang batil. Kemudian kata Al-Ilah itu umum digunakan kepada yang disembah yang benar”.
Berkata Imam Ibnul Qayyim : “Al-Ilah adalah yang Dialah yang disembah oleh hati-hati (manusia) dengan penuh kecintaan, pengagungan, kembali padanya, pemuliaan, pengagungan, penghinaan diri, rasa tunduk, rasa takut, harapan dan tawakkal (pada-Nya).”
Berkata Imam Ibnu Rajab : “Al-Ilah adalah yang ditaati dan tidak didurhakai karena mengagungkan dan memuliakan-Nya, merasa cinta, takut, berharap dan bertawakkal kepada-Nya, meminta dan berdo’a pada-Nya. Dan semua ini tidak boleh kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa yang mengikutsertakan makhluk-Nya pada salah satu dari perkara-perkara yang merupakan kekhususan penyembahan (ibadah) ini maka dia telah merusak keikhlasannya dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah. Dan padanya terdapat peribadatan kepada makhluk (kesyirikan) yang kadarnya sesuai dengan banyak atau sedikitnya hal-hal tersebut terdapat padanya”.
Berkata Al-Imam Al-Baqo`i : “Laa Ilaaha Illallah yaitu peniadaan yang besar dari menjadikan yang diibadahi yang benar selain Raja yang paling mulia karena sesungguhnya ilmu ini, khususnya Laa Ilaahaa Illallah adalah peringatan yang paling besar yang menolong dari keadaan hari kiamat dan sesungguhnya menjadi ilmu jika bemanfaat dan menjadi bermanfaat jika disertai dengan ketundukan dan beramal dengan ketentuannya. Kalau tidak maka itu adalah kebodohan semata”.
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh : “Dan ini banyak dijumpai pada perkataan kebanyakan ulama salaf dan merupakan ‘ijma (kesepakatan) dari mereka. Maka kalimat ini menunjukkan penafian penyembahan terhadap segala apa saja selain Allah bagaimanapun kedudukannya. Dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah saja semata. Dan ini adalah tauhid yang didakwahkan seluruh Rasul dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an dari awal sampai akhirnya”. Wallahu A’lam.
Lihat : Fathul Majid hal.53-54 cet. Darul Fikr.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim yang mengucapkan kalimat tersebut :
Pertama : An-Nafyu (penafian) yang terkandung dalam kalimat Laa Ilaaha. Yaitu menafikan seluruh yang disembah apapun jenisnya dan bentuknya dari makhluk, baik yang hidup apalagi yang mati walaupun malaikat yang dekat dengan Allah bahkan Rasul yang diutus sekalipun.
Kedua : Al-Itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat Illallah. Yaitu menetapkan seluruh ibadah baik yang lahir seperti sholat, zakat, haji, menyembelih dan lain-lain maupun yang batin seperti tawakkal, harapan, ketakutan, kecintaan dan lain-lain dari ucapan seperti dzikir, membaca Al-Qur’an berdoa dan sebagainya dan perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain hanya untuk Allah saja.
Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya tidak terlaksana seperti orang yang meyakini Allah itu berhak disembah tetapi juga menyambah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah. Dan dua rukun ini banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan itulah inti dari semua dakwah Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah I di antaranya :
وَ مَا أَرْسَلْنَاَ مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لآَ إِلهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami mewahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya` : 21/25).
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطاَّغُوْتِ وَيُؤْمِنْ باِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ باِلْعُرْوَةِ الْوُثْقاَ لاَ انفِصاَمَ لَهـاَ
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”. (QS. Al-Baqarah : 2/256).
Kalimat yang agung “Laa Ilaaha Illallah“ tidaklah bermanfaat untuk orang yang mengucapkannya, tidak bisa mengeluarkan dia dari lingkaran kesyirikan, kecuali jika ia mengerti artinya, mengamalkannya serta mempercayainya. Sungguh orang-orang munafiq mengucapkannya, tapi (meskipun demikian ) mereka berada dilapisan terbawah dari neraka karena mereka tidak beriman dengannya dan tidak pula mengamalkannya. Demikian pula yahudi mereka mengucapkannya tapi mereka adalah manusia yang kafir karena tidak mengimaninya . demikian pula para penyembah kuburan dan para wali dari orang-orang kafir ummat ini, mereka mengucapkannya akan tetapi mereka menyalahinya dengan ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan aqidah mereka yang menyimpang. Kalimat Laa Ilaaha Illallaah tidak bermanfaat buat mereka dan tidak menjadikan mereka orang-orang islam karena mereka menyalahinya dengan ucapan, perbuatan dan keyakinan mereka . sebagian ulama menyebutkan syarat-syarat Laa Ilaaha Illallaah ada 8, yaitu : Ilmu, keyakinan, ikhlash, jujur, cinta, taat terhadap kandungannya, menerima kandungannya, pengingkaran terhadap apa yang disembah selain Allah, yang tergabung dalam dua bait syair (berikut ini ) :
عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ  مَعْ مَحَبَّةِ وَاِنْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلُ لَهَا
وَزِيْدَ  ثَامِنُهَا الْكُفْرَانُ مِنْكَ بِمَا               سِوَى الإِلهِ مِنَ الأَشْيَاءِ قَدْ أُلِهَا
 Ilmu, keyakinan dan ikhlash serta kejujuranmu
bersama cinta dan ta’at serta menerimanya.
Ditambah (syarat) yang kedelapan (adalah)
pengingkaranmu terhadap sesuatu
selain dari Allah yang telah disembah

Makna-makna yang salah dari makna Laa Ilaaha Illallah

1.   Tidak ada yang ada kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini kalau diperhatikan maka akan didapati kesalahan pada beberapa sisi. Di antaranya, mereka mengartikan ilah di sini sebagai “yang ada”, sementara yang benar adalah yang “diibadahi”, dan juga makna ini menunjukkan bahwa semua yang ada adalah Allah maka ini adalah kebatilan yang paling batil sebab lebih kafir dan lebih musyrik dari orang-orang Yahudi dan Nashoro karena Tuhan mereka hanya dua atau tiga sementara orang-orang yang menyatakan seperti ini Tuhannya sangat banyak dan tidak terbatas padahal masih menganggap dirinya orang Islam.
Dan yang lebih mengherankan lagi adalah ada di antara pemimpin pergerakan Islam yang mengartikan seperti ini, bagaimana nasibnya Islam dan kaum muslimin, kalau yang dianggap pemimpin dalam memahami makna kalimat Laa ilaaha illallah saja keliru padahal kalimat ini yang merupakan asas iman dan asas dakwah maka betapa banyak orang yang tersesat karenanya. Perlu diketahui bahwa makna sesat ini telah dinyatakan oleh para Alhu bid’ah sejak ratusan tahun yang lalu dan alhamdulillah para ulama telah menjelaskan hal ini dalam kitab-kitab mereka. Lihat Kitabul Istighotsah yang dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
2.   Tidak ada pencipta kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini kalau kita perhatikan maka maknanya benar tetapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah. Sebab ilah maknanya  “yang diibadahi” bukan bermakna pencipta. Betapa banyak yang mengartikan seperti ini tetapi tidak mau beribadah kepada Allah sebab belum tentu orang yang meyakini hal ini beribadah kepada Allah saja seperti orang-orang musyrik, orang-orang kafir, Ahlul Kitab bahkan sebagian dari kaum muslimin sebagaimana firman Allah dalam surah Luqman : 25
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلّ‍‍َهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah”. Katakanlah : “Segala puji bagi Allah” ; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Luqman : 31/25).
Demikianlah kaum musyrikin mengetahui hanya Allah yang menciptakan langit dan bumi. Tapi bersamaan dengan itu mereka belum dianggap sebagai seorang muslim bahkan terus menerus mereka diperangi oleh Rasulullah r.
3.   Tidak ada hakim kecuali Allah. (ARAB)
Kalimat ini juga maknanya benar, tapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah .Sebab ilah sebagaimana yang terdahulu bukan bermakna hakim tetapi maknanya yang diibadahi. Dan makna ini sering dilontarkan oleh orang-orang yang mau menegakkan syariat Islam (menurut mereka) dan mengkafirkan secara mutlak orang-orang yang menurut mereka tidak mau berhukum dengan hukum Allah .
Sedangkan hukum Allah yang paling agung adalah tauhid lalu bagaimana dengan orang-orang yang ingin menegakkan hukum Allah atau syariat Islam sementara perkara yang paling pokok tidak diperhatikan bahkan kadang disepelekan dan menganggap orang-orang yang mendakwahkan dakwah tauhid adalah pemecah belah umat, tidak tahu keadaan, kuno dan berbagai macam julukan yang lain. Wallahul Musta’an.
Lihat kitab Makna Laa Ilaaha Illallah yang dikarang oleh Syaikh Sholeh Al-Fauzan.
4.   Tidak ada yang disembah yang ada kecuali Allah. (ARAB)
Makna dan tafsiran ini umumnya dikemukakan oleh sebagian ahli bahasa (dalam kitab-kitab bahasa) yang tidak memahami secara benar makna Laa Ilaaha Illallah. Mereka mendahulukan sisi bahasa semata-mata tanpa memperdulikan sisi syariatnya. Makna ini muncul karena mereka mentakdirkan khobar yang dibuang maujudun atau kainun yang berarti ada, padahal takdir yang benar adalah haqqun sebagaimana penjelasan sebelumnya. Kemudian dari sisi yang lain, tafsiran ini salah karena kenyataannya ada orang-orang di dunia ini yang menyembah sesembahan lain selain Allah seperti sapi, jin, patung-patung dan lain-lain. Maka tidaklah benar kalau dikatakan yang disembah manusia hanyalah Allah saja. Karena banyak sesembahan yang lain bahkan tak terbatas. Tetapi kita mengatakan tidak ada sesembahan yang benar (haqqun) yang disembah oleh manusia kecuali Allah saja. Artinya penyembahan orang-orang kepada sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah adalah tidak benar/batil.
5.   Tidak ada yang mampu untuk mengadakan sesuatu kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini umumnya dimaknakan oleh orang-orang sufi, filsafat dan ahlul kalam, bahkan mereka menyangka itulah puncak tauhid. Makna ini benar dari sisi makna, tetapi kalau Laa Ilaaha Illallah dimaknakan seperti itu tidaklah benar karena ilah bukan maknanya yang mampu untuk menciptakan yang baru tapi yang diibadahi sebagaimana penjelasan pada point nomor 2.
6.   Mengeluarkan keyakinan yang pasti dari dzatnya segala sesuatu dan memasukkannya pada dzatnya Allah. (ARAB)
Maka tafsiran ini batil, tidak dikenal oleh para Salafus Sholeh dan bukan pula yang dimaksud dengannya untuk meyakini ‘Azza Wa Jalla dan mengeluarkan keyakinan dari selainNya karena sesungguhnya ini tidak mungkin karena sesungguhnya keyakinan itu tsabit (tetap) pada selain Allah I, sebagaimana firman Allah I dalam surah At-Takatsur ayat 6-7 :
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin (melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat)”. (QS. At-Takatsur : 102/6-7).
Maka meyakini sesuatu yang terjadi dan menjadi kenyataan yang diketahui tidaklah menafikan tauhid. 
Dan masih banyak makna yang salah tetapi yang banyak dan menyebar adalah makna-makna yang di atas dan umumnya makna-makna tersebut kembali kepada enam makna di atas. Wallahu A’lam.