Minggu, November 23, 2008

Ahlus Sunnah Wal Jam’ah, siapakah Mereka? (Bag. 1)

Oleh : Ust. Abu Muhammad Dzulqornain
 Pertanyaan No. 1 :
Dewasa ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya kerancuan dan kebingungan dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ?
Jawab :
Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah I sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah r empat belas abad yang lalu.
Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah r kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.
Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah I Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah I Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.
Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaq cet. Darus Salaf hal.23-24 beliau berkata : “(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah I guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman (yang artinya) :
\
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankabut : 29 / 1-3).
Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman (yang artinya)  :

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. Hud : 10 / 118-119)
 
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman (yang artinya)
 (اللأنعام : 35)
"Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’am : 6 / 35).”
Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasululullah r :
قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.
Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-  :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ    يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ      
“Pada suatu hari Rasulullah r menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )”.
Diriwayatkan oleh : Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnah no.11, Sa’id bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7 dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalam Mustadraknya 2/348, Asy-Syasyi dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam  Al-Hilyah 6/263 dan Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/80-81. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari beberapa sisi :
Pertama : Definisi Sunnah.
Sunnah secara lughoh (bahasa) : berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas.
Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Rasulullah r bersabda :
مَنْ سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohihnya no.1017.
Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.
Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.
Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni :
 ü  Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi r baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.
 ü  Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi r selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
 ü  Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi r di bawah hukum wajib.
Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.
Berkata Imam Al-Barbahary : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1).
Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-Muwafaqot 4/4 : “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan tuntunan Nabi r yang sebelumnya hal tersebut mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah” apabila ia beramal menyelisihi hal tersebut (sunnah)”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa  4/180 menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau berkata : “Ketahuilah… bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah r dan mengupayakan untuk menempuh jalannya dan ia (sunnah) ada 3 bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.
Berkata Imam Ibnu Rajab -rahimahullahu ta’ala- dalam Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 : “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau r berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Dan inilah sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf dahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”.
Demikianlah makna sunnah secara umum dalam istilah para ‘ulama -rahimahumullah- dan hal itu adalah jelas bagi siapa yang melihat karya-karya para ulama yang menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah dimana akan terlihat bahwa mereka menginginkan makna sunnah secara umum seperti :
     1.      Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim.
     2.      Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad.
     3.      Kitab As-Sunnah karya Ibnu Nashr Al-Marwazy.
     4.      Kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
     5.      Kitab As-Sunnah karya Abu Ja’far At-Thobary.
     6.      Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Barbahary.
     7.      Kitab Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawy.
     8.      dan lain-lainnya.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah 1/19-23.

(bersambung ke Bag. ke 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesannya ya...!