Selasa, Desember 16, 2008

Menggugat Demokrasi - Apakah Demokrasi dan Pemilu Sama Dengan Musyawarah Dalam Islam?

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Bagaimana hukum perkataan : “Demokrasi dan pemilu adalah sama dengan syura Islami ?”

Jawabnya :
Demi Allah, seandainya kami tidak mengkhawatirkan orang yang bodoh terpengaruh dengan kata-kata seperti ini niscaya kami tidak akan membantahnya.

Sebelum menjelaskan kesembronoan penyamaan ini, akan saya sebutkan untuk mereka dua hadits yang agung. Yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
Barangsiapa mengatakan : “Aku berlepas diri dari Islam.” Apabila dia berdusta maka dia sebagaimana apa yang dia katakan. Apabila dia sungguh-sungguh maka dia tidak akan kembali kepada Islam dengan selamat. (Riwayat An Nasa’i, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Buraidah)

Dan sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang jelas menjadikan dia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh jaraknya daripada antara timur dan barat.” (Muttafaq ‘alaih dan Abu Hurairah)

Dalam kedua hadits ini terdapat nasihat bagi orang yang berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, petunjuk dan landasan kitab yang terang.

Yang jelas, demokrasi dan pemilu tidak bertemu dengan musyawarah yang disyariatkan Allah. Tidak pada pokoknya, tidak pula pada cabangnya. Tidak pada keseluruhannya, tidak pula pada sebagiannya. Tidak pada maknanya, tidak pula pada bentuknya. Dalilnya adalah sebagai berikut :

Pertama,
Siapakah yang mensyariatkan “demokrasi” ? Jawab, orang-orang kafir.
Siapakah yang mensyariatkan musyawarah? Jawab, Allah.
Apakah boleh bagi makhluk untuk membuat syariat? Jawab, tidak boleh.
Apakah bisa diterima syariat yang dibuatnya? Jawab, tidak bisa.
Yang mensyariatkan demokrasi adalah makhluk dan yang mensyariatkan musyawarah adalah Allah. Rabb dan Pemilik musyawarah adalah Allah sementara Rabb dan pemilik demokrasi adalah orang-orang kafir dan pengikut hawa nafsu. Apakah kita mempunyai Rabb selain Allah?

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah?” (QS. Al An’am : 114)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?” Katakanlah : “Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama sekali menyerahkan diri (kepada Allah) dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am : 14)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Katakanlah : “Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu.” (QS. Al An’am : 164)

Maka ayat di atas adalah garis demarkasi yang nyata antara demokrasi dan pemilu di satu sisi dengan musyawarah Islami di sisi yang lain.

Kedua,
Musyawarah kubra dilakukan berkaitan dengan pengaturan umat. Para pelakunya adalah ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan ulama, orang-orang yang shalih dan ikhlas. Adapun demokrasi, para pelakunya adalah individu-individu yang suka berbuat kufur, jahat, dan orang-orang pandir dari kalangan lelaki maupun perempuan. Dan apabila bersama mereka terdapat Muslimin atau ulama, hal ini tidak lain hanyalah mempermainkan kaum Muslimin.

Bolehkah disamakan seorang Muslim yang beriman dan shalih yang telah dipilih Allah dengan penjahat yang telah dijauhkan dan dihinakan oleh Allah?

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang- orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam : 25-26)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al Jatsiyah : 21)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang- orang yang berbuat maksiat?” (QS. Shad : 28)

Ketiga,
Ahli musyawarah tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal. Tidak menganggap benar sesuatu yang batil dan tidak menganggap batil sesuatu yang benar. Berbeda dengan para penganut demokrasi. Mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Menganggap batil sesuatu yang hak dan membela kebatilan.

Ahli musyawarah akan memusyawarahkan segala sesuatu yang masih samar dari perkara-perkara yang hak dan berupaya merealisasikannya. Mereka sekedar mengikut dan mencontoh, tidak mendatangkan hukum-hukum yang menyelisihi hukum Allah. Adapun pengikut demokrasi, mereka suka membikin perkara-perkara baru, mengerjakan kebatilan, serta suka membuat peraturan dari selain Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama.” (QS. Asy Syura : 21)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan : “Sesungguhnya aku adalah Rabb selain daripada Allah.” Maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim. (QS. Al Anbiya : 29)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain-Nya dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)

Keempat,
Musyawarah tidak dilakukan kecuali pada perkara-perkara yang langka. Adapun pada apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya serta telah jelas hukumnya maka tidak ada musyawarah dalam masalah tersebut. Sedangkan demokrasi senantiasa bertentangan dengan hukum-hukum Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah : 50)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah : 44)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.” (QS. Al Maidah : 45)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah : 47)

Kelima,
Musyawarah tidak fardhu dan tidak wajib pada setiap saat. Akan tetapi hukumnya berbeda-beda sesuai dengan waktu dan keadaan. Kadang wajib kadang tidak wajib. Karena inilah maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukan musyawarah untuk bergerak pada sebagian peperangan dan tidak melakukannya pada waktu yang lain. Hal tersebut berbeda menurut perbedaan keadaan.

Sedangkan demokrasi adalah satu kemestian bagi para pengikutnya. Tidak diperkenankan bagi seorang pun untuk keluar daripadanya. Para penguasa dan pejabat harus selalu melaksanakannya dan menerapkannya pada rakyat mereka. Padahal barangsiapa mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah berarti dia telah memperbudak manusia.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al Kahfi : 102)

Keenam,
Demokrasi menolak syariat Islam, menganggapnya lemah dan tidak baik padahal syura menetapkan kekuatan Islam dan kelayakannya pada setiap zaman dan tempat.

Ketujuh,
Musyawarah ada bersamaan dengan kedatangan Islam. Adapun demokrasi tidaklah datang ke negeri kaum Muslimin kecuali pada dua abad terakhir ini –abad tiga belas dan empat belas hijriyah–. Apakah dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah seorang yang berdemokrasi? Demikian pula para shahabat dan kaum Muslimin pada umumnya?

Kedelapan,
Demokrasi berarti “kekuasaan rakyat dari rakyat untuk rakyat”. Adapun syura berangkat dari musyawarah, di dalamnya tidak ada unsur pembuat hukum yang tidak ada asalnya dalam syariat. Yang ada hanyalah tolong menolong dalam memahami al haq, mengembalikan hal-hal yang masih tercecer kepada yang sudah terkumpul dan mengembalikan perkara-perkara yang baru kepada perkara-perkara yang sudah dikenal.

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net)


Sumber URL: http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/06/03/menggugat-demokrasi-apakah-demokrasi-dan-pemilu-sama-dengan-musyawarah-dalam-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesannya ya...!